Sejarah Tutupnya Beberapa Pabrik Gula Mojokerto

Sejarah Tutupnya Beberapa Pabrik Gula Mojokerto - Setelah diterapkan Undang-undang Pembaharuan atau Bestuurshervormingswet tahun 1922, pemerintah kolonial menempatkan struktur pejabat pribumi sebagai perangkatnya. Berbeda dengan hukum sebelumnya yang memberi posisi "penguasa lokal" pada bupati dan jajarannya. Pelaksanaan hukum itu di Mojokerto menurut Berita Lembar Negara No 298 tahun 1928. Aturan yang efektif dijalankan semenjak 1 Januari 1929.
 Sejarah Tutupnya Beberapa Pabrik Gula Mojokerto  Sejarah Tutupnya Beberapa Pabrik Gula Mojokerto

Tutupnya Beberapa Pabrik Gula Mojokerto


Tidak usang sesudah hukum itu diterapkan lalu tiba malapetaka ekonomi yang disebabkan Malaise alias depresi ekonomi di Eropa. Komoditi gula yang diproduksi di Jawa, termasuk di Mojokerto tidak terjual yang mengakibatkan banyak pabrik gula berhenti beroperasi. Pengangguran merajalela dan kemiskinan meningkat. Suatu masa yang disebut sebagai jaman "meleset", plesetan kata dari Malaise.

Pada awal penetapannya, Kabupaten Mojokerto mempunyai anggaran belanja atau begrooting sebesar f. 122.300 gulden. Pada tahun anggaran selanjutnya angka itu terus menurun sampai tinggal f. 61.000 gulden saja di tahun 1936. Penurunan anggaran tersebut berdampak pada hilangnya biaya pelayanan teknis, contohnya perawatan jalan dan sebagainya.


Baca Juga

Latar Belakang Tutupnya Pabrik Gula Mojokerto


Bupati Mojokerto, RAA Rekso Amiprodjo menyebutkan dalam rapat di Dewan Kabupaten, Regentschaapsraad, jikalau beliau harus menciptakan penyesuaian dengan kekuatan anggaran yang dimilikinya. Dan beliau menyebut pemerintah Kabupaten Mojokerto sangat terbantu dengqn tugas pabrik gula yang ikut membangun kemudahan publik ibarat poliklinik di daerah-daerah.

Meskipun berjalan dengan anggaran terbatas, Rekso menyatakan jikalau pemerintahannya tidak mengabaikan pembangunan. Dia menunjuk keberhasilannya mendirikan 2 rumah pemotongan binatang di Gedeg dan Mojosari serta pembangunan klinik rawat jalan di Kemlagi.

Tahun 1938, angka begrooting meningkat menjadi f. 32.000 gulden sampai total anggaran mendekati f. 100.000 gulden. Anggaran yang segera dipakai untuk perbaikan jalan yang sudah usang terabaikan. Sektor kesehatan publik juga ikut diperhatikan dengan menciptakan 2 klinik rawat jalan, salah satunyq di Dinoyo Jatirejo, serta satu rumah jagal lagi yang diresmikan pada tahun tersebut.

Bagaimana imbas malaise pada sektor swasta? Para pemodal tentu segera beradaptasi dalam masa sulit itu. Pengurangan tenaga kerja ialah cara pertama untuk mengurangi beban biaya. 

Pengurangan tenaga itu kebanyakan terjadi pada pekerja pribumi ibarat buruh rawat tanaman tebu dan sais pedati pengangkut tebu ke pabrik gula. Yang terburuk ialah menjual pabrik gula yang dimilikinya, ibarat pabrik milik Eschauzier di Dinoyo dan Soemengko. Pabrik Gula kelqs kecil di Soemengko dijual pada pengusaha Jepang sedangkan yang di Dinoyo dibeli oleh Tuan Moealim, pengusaha keturunan India/Pakistan. Pabrik Gula Perning di Jetis tidak luput dari afek malaise, sampai beralih fungsi untuk perkebunan tembakau milik BAT yang membeli pabrik itu.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel