Mojokerto Tempo Dulu 1949 Kekacauan Dan Kedaulatan
Mojokerto Tempo Dulu - Perjanjian Roem-Royen yang ditanda tangani pada bulan mei 1949 telah menciptakan banyak orang galau. Kebanyakan yang resah itu ialah para pendukung Belanda yang tidak menduga Republik dapat bertahan dari gempuran mesin perang Belanda. Lalu mereka mulai berancang-ancang pindah haluan merapat ke Reublik Insonesia.
Mojokerto Tempo Dulu
Salah seorang tokoh yang resah ialah dr. Arifin yang berposisi sebagai Ketua Regentschapraad atau Dewan Perwakilan Mojokerto bentukan Belanda. Lembaga legislasi itu dibentuk guna mendukung rencana mengakibatkan Mojokerto sebagai Profetuin atau "uji coba" penerapan pemerintahan sipil ala Belanda. Dia merupakan partner dari Bupati RAA Rekso Amiprodjo yang dikenal sebagai pejabat pro Belanda.
Melihat angin politik yang tidak menguntungkan, dr. Arifin melaksanakan manuver politik. Menjelang peringatan Kemerdekaan RI ke-4 ia berinisiatif membentuk panitia peringatan di Mojokerto. Pembentukan itu dilontarkan dalam sebuah rapat di Pendopo Kabupaten Mojokerto. Rencananya, dr Arifin akan melaksanakan beberapa acara olah raga dan ziarah ke makam senang di Gatoel, pusara para pejuang republik yang gugur mempertahankan proklamasi.
Mendengar hal itu, tentu Belanda tidak dapat menyetujuinya. Jika ziarah yang akan diikuti oleh tentara yang ada di luar kota Mojokerto maka sama halnya dengan mengakui keberadaan Tentara Nasional Indonesia yang sebelumnya dianggap sebagai gerombolan bersenjata pengacau keamanan atau ekstrimis. Penolakan yang mengandaskan tawaran dr. Arifin.
Pasca Roem-Royen memang tidak ada lagi pertempuran sporadis. Kedua belah pihak diperintahkan melaksanakan gencatan senjata. Pihak Belanda tetap berkuasa di eekitar wilayah kota dan kawasan sesuai posisi sebelum tahun 1949. Namun pejuang masih sering melintasi perbatasan tanpa memakai uniform militer.
Pertempuran memang sudah tidak ada, tetapi Belanda tidak dapat menjaga keamanan di wikayahnya. Para pejuang mulai menghukum orang-orang yang pernah menjadi kaki tangan musuhnya. Perampokan, penculikan dan pembunuhan marak terjadi tanpa dapat dikategorikan motifnya. Mungkin sebagaian bermotif politik dan dapat juga sebuah tindakan kriminal untuk menguasai harta benda orang lain.
Kekacauan Mojokerto Tempo Dulu
Selain pejabat pemerintahan, sasaran kerusuhan juga menyasar orang-orang China dan orang kaya lainnya. Di Brangkal seorang carik dan seirang China diketahui tekah dirampok gerombolan bersenjata. Perampokan juga menimpa pada tukang pos yang dirampas sepedanya. Polisi yang tiba ke lokasi tidak dapat menemukan pelakunya. Di Bangsal, seorang penjual daging ditembak di tempatnya berdagang. Di Trawas, rumah lurah Seloliman dijarah harta bendanya serta pemiliknya dicilik dan tak diketahui nasibnya.
Kekerasan yang terus meningkat sampai bulan Nopember 1949. Beberapa pegawanegeri pemerintah frustasi sampai menentukan meninggalkan pekerjaannya. Setidak ada 52 orang Polisi Daerah Mojokerto menghilang dengan membawa serta senjatanya. Begitu pula dengan seorang pegawai di kecamatan Mojosari lari membawa sepeda dinas berikut dua pucul pistol dari kantornya. Patih Mojokerto, R. Imanadi juga memgundurkan diri sebab tidak tahan sesudah kendaraannya diberondong tembakan ketika pulang dari kantornya.
Situasi rawan itu mendorong pegawanegeri pemerintahan mencari posisi aman. Mereka meminta supaya Belanda segera menyerahkan penanggung jawab keamanan pada Tentara Nasional Indonesia supaya situasi kondusif. Usulan itu dapat berjalan mulus sebab Bupati Rekso, loyalis Belanda telah diberhentikan. Penggantinya, R. Amin Notowidjojo sepakat dengan tawaran tersebut. Usulan yang menciptakan Belanda tidak dapat berbuat apa-apa. Dan disepakati pada tanggal 5 Desember Belanda akan menyerahkan keamanan Mojokerto pada republik.
Mengetahui hal itu, dr. Arifin bergerak cepat. Dia segera menciptakan rapat guna membentuk pantia penyambutan peralihan kekuasaan di Mojokerto. Dia ditunjuk sebagai ketua panitia dengan RM. Djokosangkolo dan R. Soegihono sebagai wakilnya. Sekretaris dijabat R. Pranoto dan wakilnya, R. Abdoelhamid. Sementara bendahara diisi oleh M. Wardjidin beserta wakil R. Trimaningprodjo.
Penutup
Untuk mengambil hati rakyat, panitia yang berasal dari kalangan priyayi birokrasi itu melibatkan 23 orang lainnya sebagai anggota. Para anggota itu diambil dari unsur TNI, Guru Agama, Pamong Pradja dan komunitas lainnya. Panitia itu akan menggelar perayaan besar-besaran menyambut pasukan Tentara Nasional Indonesia yang masuk kota Mojokerto.
Dan pada akhirnya, Overtse Keuning, komandan tentara Belanda memyerahkan wilayah Mojokerto pada Mayor Isa Idris dan Mayor Mansyur Sholikhi pada tanggal 5 Desember 1949. Penyerahan yang mendahului rencana yang seharusnya tanggal 19 Desember 1949.